Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Uswatun Hasanah

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Uswatun Hasanah

Awal berdirinya Pondok Pesantren Uswatun Hasanah bermula pada bulan Februari tahun 1970 Masehi, bertepatan dengan bulan Dzulhijjah tahun 1389 Hijriah. Gagasan pendirian pesantren ini muncul atas ajakan masyarakat dari beberapa dusun di sekitar wilayah Cempaka Putih, yakni Dusun Cempaka Putih, Dusun Repok Puyung, Dusun Gubuk Repok, dan Dusun Lendang Randu.

Atas dorongan dan semangat masyarakat tersebut, sang pendiri kemudian membentuk sebuah majelis taklim sederhana sebagai wadah untuk menampung minat belajar agama, khususnya bagi kalangan muda. Jumlah jamaah pertama yang mengikuti kegiatan tersebut sekitar 46orang.

Kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan di sebuah surau sederhana berukuran 5 x 5 meter, berlantaikan tanah dan beratapkan alang-alang. Surau itu pula menjadi tempat salat berjamaah bagi warga Cempaka Putih, yang saat itu hanya berjumlah sekitar 22 kepala keluarga.

Meskipun sangat sederhana, lembaga kecil ini memfokuskan diri pada pendidikan Diniyah Islamiyah, dengan mata pelajaran utama seperti Ilmu Nahwu dan Sharf, Tauhid, Fikih, Ilmu Hadis, Al-Qur’an, Manthiq, dan Balaghah. Khusus untuk pelajaran Nahwu dan Sharf, digunakan metode khas yang disebut “Metode Sendiri”, yang hingga kini tetap dipertahankan karena terbukti efektif dan mudah dipahami oleh para santri.

Respon masyarakat terhadap kegiatan ini sangat luar biasa. Majelis taklim semakin ramai, dan minat belajar agama tumbuh pesat. Seiring dengan meningkatnya jumlah santri, pimpinan muda pesantren itu membangun sebuah rumah sederhana dari bata mentah berukuran sekitar 8 x 7 meter. Setengah dari bangunan tersebut digunakan sebagai tempat tinggal para santri yang semakin bertambah banyak. Sebagian santri bahkan membangun pondok-pondok kecil dari anyaman bambu (bedek) sebagai tempat tinggal mereka.

 

Para santri saat itu kebanyakan berasal dari kalangan yang tidak menempuh pendidikan formal, bahkan ada yang putus sekolah. Mereka memilih tinggal di pesantren agar bisa terus belajar, karena selepas salat Subuh, mereka langsung mengaji kembali. Pada malam hari, sebelum tidur, mereka biasa bergiliran menceritakan kisah-kisah rakyat atau cerita lucu kepada teman-temannya.

Pada peringatan hari-hari besar Islam, terutama saat Maulid Nabi, diadakan berbagai kegiatan seperti musabaqah, cerdas cermat, serta pertunjukan drama yang menghibur. Sementara itu, pimpinan pesantren juga membuka program Diniyah di beberapa desa sekitar, yang dikelola langsung oleh santri-santrinya. Di sela kesibukannya, beliau tetap mengabdikan diri dengan menjadi guru di PGA (Pendidikan Guru Agama) Sengkol Mantang, Batukliang, Lombok Tengah hingga November 1973. 

Pada tahun 1971, di sela aktivitas membina masyarakat, beliau juga menimba ilmu agama kepada Al-Maghfurlah TGH. Muhammad Thoyyib di Dusun Jantuk, Desa Mantang, Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah. Tak lama kemudian, beliau dipercaya menjadi asisten dalam pengajian umum yang diasuh oleh sang guru. Pada tahun yang sama, beliau juga sempat diajak menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI), namun dengan rendah hati menolak tawaran tersebut, meski tetap dianggap bagian dari MUI.

Jumlah santri yang semula hanya 46 orang terus bertambah hingga mencapai 78 orang. Surau kecil berukuran 5 x 5 meter pun tak lagi mampu menampung kegiatan belajar-mengajar. Maka, pada tahun itu dibangun surau baru berukuran 10 x 10 meter. Namun, proses belajar sempat terganggu karena bau menyengat dari bangkai hewan di sekitar lokasi.

 

Tahun 1972, dibangunlah sebuah bangunan semi permanen berukuran 25 x 7,5 meter dari bata mentah. Bangunan ini dibagi menjadi tiga ruang kelas dan digunakan oleh lebih dari 100 santri. Pada tahun yang sama, diterapkan pula sistem pembelajaran yang dikenal hingga kini, yakni “Sistem Tutor Sebaya”, di mana santri yang lebih memahami materi membantu teman-temannya dalam belajar.

Namun, perjuangan dalam mengembangkan lembaga ini tidaklah mudah. Aktivitas pendidikan sering kali mendapat intimidasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sekolah dilempari batu, bahkan kotoran hewan pernah dilemparkan ke dalam ruang belajar. Meski demikian, semua bentuk teror itu dianggap sebagai ujian dari Allah SWT, dan kegiatan belajar tetap berlangsung seperti biasa.

Intimidasi tersebut terus berlanjut hingga tahun 1973, terlebih ketika situasi politik semakin tidak kondusif. Pimpinan pesantren yang menolak untuk bergabung dengan partai politik yang berkuasa saat itu, yaitu GOLKAR, menghadapi tekanan dan teror yang semakin meningkat.

Pada masa itu, GOLKAR yang didukung oleh aparat militer dan kepolisian berusaha memperluas pengaruhnya, bahkan terhadap tokoh-tokoh agama dan masyarakat yang menolak tunduk pada kepentingan politiknya. Sang pimpinan pesantren pun tidak luput dari teror — aktivitas pengajian yang beliau jalankan sering dilempari batu, bahkan ketika hendak berangkat berdakwah.

Namun, semangat beliau tidak pernah surut. Justru di tengah ancaman dan tekanan itu, minat masyarakat untuk belajar semakin tinggi. Jumlah panitia pengajian yang semula hanya beberapa, berkembang menjadi 24 panitia. Tahun 1974, seiring meningkatnya jumlah santri, dibangun tambahan ruang belajar berupa sambi (bahasa Sasak) di samping bangunan semi permanen.

Pelajaran Diniyah yang semula berfokus pada ilmu-ilmu agama kemudian dilengkapi dengan pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, meski diberikan secara informal.

أحدث أقدم